Ada yang berbeda pada Ramadan tahun ini. Pasalnya, pesantren memberikan kesempatan kepada para santri untuk menjadi imam tarawih. Mereka merupakan santri program takhassus tahfizh di SMA IT ABBSKP. Ini merupakan kali pertama pasca tahun pandemi Covid-19. Selain menjadi ajang latihan, ini juga menjadi wahana uji kompetensi hafalan para santri.
Menjadi menarik ketika tarawih tidak mengadopsi bacaan surah-surah pendek seperti pada umumnya. Para santri yang menjadi imam membacakan setengah juz setiap malamnya. Dalam satu tim terdiri dari lima santri yang nanti bergantian menjadi imam. Dengan target dua puluh rakaat tarawih tiap malamnya, tiap santri membaca dua halaman tiap empat rakaat dua salam. Sederhananya tiap santri mendapat jatah dua halaman untuk dua kali salam tarawih.
Karena masih latihan, terkadang ada saja kendala terjadi saat menjadi imam. Seperti misalnya lupa ayat, salah harakat, hingga lupa awal bacaannya. Satu hal yang tak terlewatkan juga perbedaan tune sangat mencolok antara satu santri dengan lainnya. Ada yang meliuk sahdu indah langgam bacaannya. Membaca dengan nada datar langgam biasa-biasa saja juga ada.
Terdapat kesan menarik baik dari kalangan ustadz maupun santri. Dari ustadz misalnya, diakui ini menjadi ajang latihan untuk menjaga hafalan di dalam shalat. “Alhamdulillah para santri dapat melaksanakan mandat menjadi imam tarawih setengah juz tiap malamnya. Ini sebagai bentuk latihan para santri menjaga hafalan di dalam sholat. Semoga ke depannya bisa lebih ditingkatkan lagi dari setengah juz menjadi satu juz,” ujar Ust. Samsul selaku Koord. Bidang Al-Qur’an.
Kesan berbeda datang dari para santri yang menjadi imam. Mereka bilang menjadi imam tarawih itu menyenangkan di satu sisi. Tugas menjadi imam juga menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Tentu saja selain pengalaman baru, juga menjadi ajang melatih diri menguji keberanian. Karena masih pertama kali, terkadang muncul rasa nervous tentu saja.
“Menjadi imam tarawih bagi saya sangatlah menyenangkan. Pengalaman baru tentu saja saya dapatkan. Dan satu hal lagi ini merupakan keinginan kedua orang tua agar menjadi imam di masjid suatu saat. Alhamdulillah saya bisa mengabulkannya kali ini. Semoga imam tarawih ke depan bisa lebih baik lagi khususnya dalam hal bacaannya,” ungkap Ryan Muchlisin.
Meskipun masih dalam lingkup masjid sekolah, ini menjadi pengalaman pertama. Tentu saja menjadi sangat berkesan karena butuh persiapan dan tidak asal jadi imam. Selain itu, juga menjadi tantangan tersendiri baginya. “Ini menjadi pengalaman pertama menjadi imam di masjid Baitul Munir. Sangat berkesan tentu saja. Perlu persiapan yang matang. Ternyata membaca al-Qur’an saat menjadi imam tidak semudah ketika tilawah biasa. Setidaknya tugas ini telah melatih saya lebih berani dan tampil percaya diri untuk mensyiarkan Islam di masyarakat nantinya,” imbuh Al-Faza.
Berbeda dengan lainnya, Helmi Ariyanto merasa senang karena berkesempatan menjadi imam tarawih kali ini. Sebab, secara tidak langsung santri latihan melancarkan hafalannya. “Tentu saja rasanya berbeda ketika membaca al-Qur’an saat menjadi imam dengan membaca al-Qur’an sendiri. Terasa lebih berat dan grogi saat menjadi imam di depan ustadz-ustadz dan ratusan santri. Semoga hal seperti ini terus istiqomah pada ramadan-ramadan berikutnya,” pungkasnya. (fth)