You are currently viewing Sastra Profetik: Belajar Nilai-nilai Keislaman melalui Sastra

Sastra Profetik: Belajar Nilai-nilai Keislaman melalui Sastra

Sastra merupakan media belajar yang multimanfaat. Hal itu tentu tidak lepas dari fungsi utama karya sastra, yaitu dulce yang berarti menghibur atau menyenangkan dan utile yang berarti memberikan manfaat atau mendidik. Melalui dua fungsi ini, sastra memberikan sentuhan yang berbeda dalam gaya belajar, yaitu belajar secara menyenangkan (fun) sekaligus bermanfaat (useful).

Kelebihan-kelebihan tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengenalkan nilai-nilai keislaman kepada siswa melalui gaya belajar yang out of the box. Jika biasanya siswa memperoleh materi nilai-nilai keislaman dalam suasana formal, maka melalui sastra profetik, mereka dapat mempelajarinya dalam suasana informal dan lebih santai.

Secara sederhana, sastra profetik dapat dipahami sebagai sastra yang menampilkan nilai-nilai ketuhanan. Efendi (dalam Jurnal “Cakrawala Pendidikan”, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY) mengemukakan bahwa sastra profetik bertujuan untuk memberi pencerahan serta menyadarkan bahwa manusia merupakan makhluk yang theoformis. Artinya, manusia memiliki sesuatu yang agung dalam dirinya.

 

Mengenal Beberapa Karya Sastra Profetik

          Keberadaan karya-karya sastra profetik di Indonesia relatif banyak, mulai dari novel, cerita pendek, hingga puisi. Pengarang-pengarang novel populer seperti Tere Liye, Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Hanum Rais, dan sebagainya juga masih tergolong produktif menulis hingga saat ini.

Karya-karya mereka yang dikenal luas oleh pembaca di antaranya adalah Hafalan Sholat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Ayat-ayat Cinta, Api Tauhid, Assalamualaikum Beijing, Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara, 99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika, dan masih banyak lagi.

Selain novel populer, beberapa novel yang tergolong klasik seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka juga masih terus diterbitkan hingga saat ini. Kedua karya tersebut tergolong populer di kalangan masyarakat. Selain Hamka, terdapat pula karya-karya dari pengarang lain seperti Pasar karya Kuntowijoyo, dan Atheis karya Achdiat Karta Mihardja.

Adapun karya berupa cerpen seperti Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, juga masih bisa didapatkan di toko-toko buku. Selain itu, keberadaan puisi juga tak kurang jumlahnya, mulai dari karya-karya Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, Abdul Hadi WM, dan sebagainya. Beberapa karya antologi puisi yang masyhur dari mereka di antaranya adalah Tirani dan Benteng, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tuhan, Kita Begitu Dekat, dan sebagainya.

Karya-karya yang telah disebutkan di atas hanyalah sepenggal bagian dari khazanah kesusastraan profetik di Indonesia. Artinya, masih terdapat karya-karya lain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini. Karya-karya di atas menyajikan nilai-nilai keislaman secara menarik sesuai dengan sifat unique dari masing-masing pengarang.

 

Perkenalan Tahap Lanjut: Mulai Membaca

          Perkenalan tahap lanjut ini dilakukan dengan memantapkan langkah untuk mulai mencari dan membaca karya sastra profetik. Waktu yang tepat untuk memulainya adalah sekarang. Start early, start now”, kata Rhenald Kasali (dalam bukunya yang berjudul Self Driving). Jangan sampai kita menjadi bangkrut karena ketidakpastian waktu yang kita buat sendiri. Mulailah dari hal yang kecil dan mulailah dengan energimu. Orang-orang yang tidak mengetahui “seni untuk memulai” (the art of starting) hanya akan memberikan alasan-alasan. Mulailah membaca dan temukan kebaikan-kebaikan dari karya-karya sastra profetik.